Selasa, 18 Desember 2012

KESENJANGAN SOSIAL DAN MASYARAKAT MANDIRI

Menarik ketika kita mengikuti kabar dari media masa yang memberitakan keputusan Pengadilan Inggris menolak permohonan Pemerintah Indonesia untuk bisa mengintervensi kasus pencairan uang di Banque Nationale de Paris (BNP) Paribas 36 juta euro oleh Garnet Investment karena diduga hasil korupsi.


Ada pula ribut-ribut masalah suntikan dana hingga 6,7 triliun rupiah kepada PT Bank Century Tbk yang dilakukan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sehingga berpotensi merugikan negara triliunan rupiah karena bank tersebut dirampok sendiri oleh pemiliknya.

Ironisnya, dalam waktu yang sama, kondisi menyedihkan tampak di kota-kota besar yang jalanannya dijejali para pengemis yang mengharapkan rezeki dari para dermawan. Fenomena membanjirnya pengemis di jalanan ini membuat masyarakat dan pemerintah resah. Lalu, MUI mengeluarkan fatwa haram mengemis di jalan.

Itulah drama kehidupan saat ini yang melahirkan kontroversi. Satu sisi yang kaya dan kuat secara sosial, ekonomi, dan politik akan diuntungkan oleh sistem di negeri ini. Sebaliknya, yang miskin dan lemah akan terlindas oleh kekuatan sistem yang berlaku.

Persoalan Garnet Investment dan Bank Century adalah limbah program pembangunan yang berorientasi pada kekuasaan pasar sehingga lebih cenderung mengejar pertumbuhan tanpa mengindahkan pemerataan.

Menurut analisis Samuel Huntington, kebijakan pemerintah dalam pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan akan lebih cenderung top-down dan hanya dikuasai beberapa orang sehingga stabilitas menjadi kata kunci yang tidak bisa ditawar-tawar, jika perlu dengan paksaan fisik dan psikis. Dalam persoalan ini, pembangunan fisik menjadi tampak cepat, akan tetapi sangat rapuh jika sewaktu-waktu terjadi krisis finansial.

Pembangunan yang berorientasi pada pemerataan lebih memprioritaskan partisipasi masyarakat, dengan konsekuensi pertumbuhan ekonomi berjalan lamban, namun risikonya kecil jika diterpa krisis ekonomi karena basis ekonominya terletak pada masyarakat.

Saat ini, ekonomi dunia ditandai dengan ditandatanganinya General Agreement on Tariff and Service (GATS) yang telah mengikat negara-negara penandatangan kesepakatan tersebut untuk menerapkan perdagangan bebas.

Konyolnya, Indonesia yang termasuk salah satu negara penanda tangan kesepakatan tersebut terkesan tidak siap dan asal teken kesepakatan saja. Selanjutnya, bisa ditebak, produsen kita terpaksa terjun bebas untuk ikut bertarung melawan produsen luar negeri yang sudah mapan dan siap segala-galanya tanpa ada proteksi sama sekali dari negara sehingga produsen dalam negeri selalu mengalami kekalahan demi kekalahan dalam menghadapi pesaing asing. Akibat pengambilan kebijakan yang tergesa-gesa ini semakin menimbulkan disparitas antara yang kaya dengan si miskin.

Dampak kemiskinan telah menimbulkan keprihatinan karena fenomenanya saat ini terdapat beberapa orang yang tidak melihat kemiskinan merupakan imbas kebijakan pembangunan, akan tetapi malah menggunakannya sebagai komoditas ekonomi.

Selain itu, sindikat pencari dana profesional dengan alasan untuk pembangunan tempat ibadah, rehab tempat sosial, atau pun kepentingan organisasi sosial ilegal, juga turut mewarnai penyalahgunaan warga miskin ini.
Perbuatan sebagaimana tersebut di atas sesungguhnya telah melanggar, baik norma-norma sosial maupun aturan yuridis, karena cenderung menggunakan tipu muslihat untuk menarik simpati para dermawan.
Kesalahan Kebijakan

Kita ketahui bahwa program dan proyek penanggulangan kemiskinan telah dilakukan sejak Orde Baru sampai Orde Reformasi. Ratusan triliun rupiah sudah digelontorkan untuk mengurangi angka kemiskinan. Namun jumlah warga miskin bukannya berkurang, tetapi malah bertambah.

Program pemerintah yang bersifat pemberian (karitatif) dituding sebagai salah satu penyebab jumlah warga miskin tidak mengalami penurunan. Program tersebut antara lain adalah Bantuan Langsung Tunai (BLT), beras bagi warga miskin (raskin), dan bantuan sejenis lainnya. Bantuan semacam ini telah menciptakan kebergantungan dan kemalasan di lingkungan masyarakat. Bahkan, yang lebih menyedihkan berpotensi menciptakan konflik horizontal antara warga yang merasa dirinya miskin dan aparatur pemerintah di tingkat bawah karena warga yang merasa miskin tersebut tidak tercatat dalam kategori miskin sehingga tidak mendapatkan bantuan pemerintah.

Faktor lainnya adalah rendahnya kemampuan aparatur pemerintah dalam memecahkan problem kemiskinan. Sebagai misal, karena BPS menggunakan lantai rumah sebagai salah satu indikator kemiskinan, maka pemerintah daerah setempat memprogramkan lantainisasi untuk mengurangi angka kemiskinan. Yang terjadi bukanlah penanggulangan kemiskinan, akan tetapi program penurunan angka kemiskinan semu akibat dari kesalahan penafsiran pemerintah daerah tersebut.

Untuk membantu menyelesaikan persoalan ini, maka model pemberdayaan dengan basis masyarakat dan model partisipatory programme menjadi sangat urgen untuk dijadikan rujukan. Jika pemerintah serius untuk mengurangi angka kemiskinan, maka program pemerintah haruslah berbasis pada prakarsa dan kapasitas masyarakat itu sendiri. Dalam konteks ini si miskin haruslah mampu mengentaskan dirinya sendiri sehingga pemerintah nantinya hanyalah berfungsi sebagai fasilitator ataupun katalisator. Jika program ini berjalan, maka keuntungan yang diperoleh adalah terciptanya masyarakat yang mandiri, dan bukan masyarakat yang menengadahkan tangan.

Akhir wacana, usia keberadaan yang kaya dengan si miskin sesungguhnya sama tuanya dengan terciptanya dunia ini. Di sisi lain, liberalisasi yang sekarang sedang melanda dunia, termasuk Indonesia di dalamnya, mau tidak mau berpotensi menciptakan kesenjangan antara si kaya dan si miskin.

Untuk mengurangi kesenjangan ini, maka dengan mengacu pada tesis Gunawan Sumodiningrat (Mantan Dirjen Pemberdayaan Sosial Depsos), pemerintah haruslah merancang agar pembangunan saat ini mengacu pada paradigma "pemberdayaan" yang menekankan bahwa seluruh lapisan rakyat yang produktif adalah sebagai pemenang pembangunan. Yang produktif pastilah yang paling berhak menikmati apa yang mereka hasilkan. Prakarsa pembangunan dilakukan oleh rakyat, sedangkan pemerintah hanyalah sebagai fasilitator maupun katalisator.
Dalam hal ini kita patut mencontoh bagaimana usaha bangsa Jepang pasca kekalahan dalam perang melawan Sekutu, bangsa Jerman pasca kekalahan dalam Perang Dunia I, serta bangsa-bangsa besar lainnya. Semoga di negeri ini, nantinya, tercipta masyarakat yang mandiri dan mampu mengentaskan dirinya sendiri dari kesulitan hidup.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.